Sinkretisme Bertingkat-tingkat

Sejarah Kekristenan sarat diwarnai oleh sinkretisme (percampuran) antara ajaran Yesus dengan budaya paganisme (penyembahan berhala), sehingga ajaran Kristen murni sudah hampir punah karena didominasi paganisme.

Sinkretisme oleh Paulus
Tokoh awal dan yang paling terkenal dalam melakukan praktek sinkretisme Kekristenan adalah Paulus dari Tarsus. Tarsus merupakan pusat  penyembahan Dewa Mithra (Matahari). Ciri penyembahan Dewa Mithra adalah upacara meminum darah sapi atau meminum secangkir anggur yang melambangkan darah. Paulus sejak kecil sudah terbiasa dengan upacara penyembahan berhala ini, sehingga baginya, darah sudah merupakan sumber kekuatan dan penebus dosa sesuai dengan ajaran penyembah Dewa Mithra dan Dewa Herakles.
Penetrasi ajaran Kristen yang luar biasa dan menekan ajaran pagan, hal ini memaksa Paulus harus berfikir keras dan cerdas agar paham pagan yang dianutnya tetap exist atau bahkan bisa tersebar luas, bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan sinkretisme aqidah, tentunya antara agama Kristen dan Paganisme yang dianutnya. Sehingga, ajaran pagan tersebut bisa bertahan bahkan ikut tersebar seiring penyebaran agama Kristen (yang sudah terkontaminasi) ke penjuru dunia. Berita tentang  Yesus mati disalib dan kemudian bangkit kembali, membuat ide cemerlang Paulus muncul untuk mencampurkankannya dengan paham pagan Mithraisme yang ia anut, sehingga muncullah ajaran baru dalam Kristen seperti dosa waris, penebusan dosa, dan juru selamat yang kemudian diadopsi oleh umat Kristen hingga kini.

Sinkretisme Masa Romawi

Cara penyebaran agama Kristen-Katholik melalui proses sinkretisme ini kemudian dilanjutkan oleh kaisar Konstantin yang sebenarnya juga seorang pagan.  Ketika paganisme yang dianut bangsa Romawi dirasa tidak kondusif lagi bagi persatuan Negara Romawi, dikarena terlalu banyaknya Dewa yang dijadikan sesembahan, karena itu Konstantin berfikir untuk mengangkat Dewa (Tuhan) baru yang bisa mempersatukan rakyatnya kembali. Akhirnya pada Konsili Nicea tahun 325M atas masukkan dari para pengikut Paulus, diputuskan pengangkatan Yesus sebagai Tuhan, setelah itu Konstantin menyatakan dirinya masuk Katholik.  Masuknya sang kaisar ke Katholik, ternyata tidak berpengaruh pada rakyatnya yang sudah terbiasa melakukan ritual perayaan kelahiran Dewa Matahari, yang dianggap sebagai Dewa yang paling penting kala itu dan bertepatan pada tanggal 25 Desember. Dengan kelihaiannya, Konstantin mengatasi permasalahan tersebut dengan cara melakukan sinkretisme yang menyatakan bahwa Yesus lahir pada tanggal 25 Desember sehingga ritual perayaan Dewa Matahari tidak akan dihilangkan.  Dari pernyataan tersebut, rakyat Romawi kemudian berfikir bahwa Yesus adalah anak Dewa Matahari dan mereka pun berbondong-bondong masuk ke agama Katholik.

Sinkretisme di JermanKetika Katholik mulai masuk ke daerah Jerman, proses sinkretisme terjadi kembali agar Katholik bisa diterima oleh masyarakat Jerman yang kala itu masih menganut pagan penyembah pohon cemara. Ketika dikatakan bahwa Yesus lahir di bawah pohon cemara, maka dengan segera masyarakat di sana menganggap bahwa Yesus adalah anak dari Dewa Cemara, artinya Yesus juga dianggap sebagai Dewa/Tuhan mereka. Akhirnya mereka bersedia menerima Katholik, bahkan hingga kini pohon cemara dipergunakan dalam perayaan Natal, yang kemudian disebut sebagai pohon Natal. Sungguh luar biasa dampak sinkretisme ini!
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kasus sinkretisme tersebut? Ternyata sinkretisme antara yang haq dan bathil hanya akan memunculkan kebathilan baru yang bersifat laten. Sehingga paham baru hasil sinktretisme ini akan jauh lebih berbahaya daripada paham bathil yang menjadi induknya.
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu Mengetahui.” (QS 2:42)

Sumber: eramuslim

0 komentar:

Berita Terpopuler

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More